KENAPA KATA WIQAAYAH
DIJADIKAN MAKNA PENDIDIKAN ISLAM?
PENDAHULUAN
Menurut pengamatan Muhammad
Arif Fadhillah Lubis, S.H.I., MSI & Drs. Suherman, M.Ag. Dosen
Politeknik Negeri Medan, akhir-akhir ini kerusakan akhlak tanpa kecuali di
lingkungan para mahasiswa dan pelajar dengan segala jenis dan bentuknya adalah
sebuah ancaman yang berbahaya tidak saja terhadap para pelakunya, tapi
merupakan ancaman yang serius terhadap stabilitas sosial, ekonomi dan keamanan
serta kesatuan bangsa.
Pada masa dua tahun terakhir ini semakin
sering kita menyaksikan tidak lagi sekedar tawuran, tapi telah lebih parah
lagi. Mahasiswa dan pelajar (sampai tingkat Sekolah Dasar) telah diracuni oleh narkoba. Suatu hal yang mungkin
dulu tidak pernah terbayangkan. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah
sampai kepada kecanduan yang sudah sangat sulit diobati. Ini baru beberapa yang
telah terlanjur diekspos kehadapan publik. Adapun yang tersembunyi, yang tidak
atau belum terdeteksi tentunya lebih parah lagi. Seperti pelacuran dikalangan pelajar,
pornografi dengan berbagai jenis dan bentuknya, pemalsuan ijazah, kerusakan
akhlak dikalangan para pendidik sendiri dan lain sebagainya.
Kita tidak memungkiri adanya
faktor eksternal yang sangat kuat yang menyebabkan kondisi ini. Tapi minimal ini
merupakan indikator yang sangat nyata betapa jeleknya kondisi internal mereka
(baca pendidikan dengan segala isinya). Karena apa yang mereka pelajari dan
siapa yang mengajari mereka sudah tidak mampu lagi memberikan imunitas kepada
mereka dari bahaya-bahaya luar. Sehingga ketika mereka dirasuki oleh “racun-racun” eksternal mereka terkapar
tak berdaya. Abuddin Nata
menyebut fenomena diatas sebagai ‘neraka’ dunia.
Mengapa itu semua bisa terjadi?
Jawabanya tentu saja sangat kompleks, tetapi yang pasti berbagai perilaku yang
terjadi pada sikap dan perilaku anak bangsa saat ini tidak dapat dilepaskan
dari pola pendidikan yang telah dan disajikan bagi anak bangsa dewasa ini tidak
mampu memberikan efek Tarbiyah.
Allah, melalui al-Qur’an surat
at-Tahrim ayat 6 dan ayat-ayat wiqaayah lain, telah memberikan motivasi kepada
para mukmin untuk melakukan kegiatan pendidikan (Tarbiyah), apakah
bentuknya Ta’lim, Ta’dib, Tahdzib maupun Tadris.
Kata Kunci ; Wiqaayah, Pendidikan Islam
ARTI KATA WIQAYAH
Kata wiqayah (وقاية) berasal dari
kata waqaa ((وقى yaqii (يقى)
wiqayatan (وقاية)
artinya: menjaga, memelihara (dari kesakitan)1).
Al-Qur’an2) menggunakan kata waqaa dalam Q.S al-Mukmin:45,
at-Thur:18, ad-Dukhon:56 dan surat ad-Dahr:11; Kata taqiy dalam Q.S al-Mukmin:9 dan Nuh:81; Dan kata quu dalam Q.S at-Tahrim:6; serta kata qi dalam al Baqarah:201, al-Mukmin:7 dan
9; Kesemuanya berasal dari kata wiqayah.
Kata
Waqaa (وقى) terdapat dalam:
1.
Q.S Al Mu’min ayat 45 :
45. Maka Allah
memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir'aun beserta kaumnya
dikepung oleh azab yang Amat buruk.
2.
Q.S At-Thur:18,
18. Mereka bersuka ria dengan apa yang diberikan kepada mereka
oleh Tuhan mereka; dan Tuhan mereka memelihara mereka dari azab neraka.
3. Q.S Ad-Dukhon:56
56. Mereka tidak akan
merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. dan Allah memelihara mereka
dari azab neraka,
Kata taqiy
dalam: 1. Q.S al-Mukmin:9
9. Dan peliharalah
mereka dari (balasan) kejahatan. dan orang-orang yang Engkau pelihara dari
(pembalasan) kejahatan pada hari itu Maka Sesungguhnya telah Engkau anugerahkan
rahmat kepadanya dan Itulah kemenangan yang besar".
2.
Q.S Nuh:81;
(yaitu)
sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaKu,
kata qi dalam: 1.
Q.S Al Baqarah:201,
201. Dan di antara mereka ada
orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka"
2.
Q.S Al-Mukmin:7
dan 9;
7. (malaikat-malaikat)
yang memikul 'Arsy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji
Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang
yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu Engkau
meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat
dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang
menyala-nyala,
Dan kata quu
dalam Q.S at-Tahrim:6
6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.
Kata Waqaa, yaqi juga menurunkan
kata Tawaqqaa dan Ittaqaa yang berarti takut kepada sesuatu3) Dan
al-Qur’an menggunakan derevasi kata ini untuk menyatakan salah satu hasil dari
proses yang ditempuh dalam rangka upaya menjaga diri dan keluarga dari api
neraka seperti yang diperintahkan dalam surat at-Tahrim ayat 6.
Setidaknya al-Qur’an menggunakan
derevasi kata waqaa untuk menjelaskan:
Keutamaan takwa: Q:S 2:103, 2:189, 2:197, 2:203, 2:224, 3:15, 3:76, 3:120, 3:123, 3:133, 3:172, 3:179, 3:186, 3:198, 3:200, 4:77, 4:128, 4:129, 5:35, 5:65, 5:93, 5:100, 6:155, 7:26, 7:35, 7:96, 7:156, 7:169, 7:201, 8:29, 9:4, 9:7, 9:36, 9:108, 12:57, 12:90, 12:109,
16:31, 16:128,
19:63, 24:52, 27:53, 36:45, 39:61, 39:73, 43:67, 49:13, 65:2, 65:3, 65:4, 65:5, 92:5
Menyeru pada ketakwaan: 2:41, 2:48, 2:194, 2:196, 2:197, 2:203, 2:223, 2:231, 2:233, 2:241, 2:278, 2:281, 2:282, 2:283, 3:50, 3:102, 3:123, 3:125, 3:130, 3:200, 4:1, 4:9, 4:128, 4:129, 4:131, 5:2, 5:4, 5:7, 5:8, 5:11, 5:35, 5:57, 5:88, 5:93, 5:96, 5:100, 5:108, 5:112, 6:51, 6:69, 6:72, 6:153, 6:155, 7:128, 8:1, 8:69, 9:119, 22:1, 30:31, 33:55, 33:70, 36:45, 37:124,
39:10, 39:16, 49:1, 49:12, 57:28, 58:9, 59:7, 59:18, 60:11, 64:16, 65:1, 65:10, 71:3
Pahala takwa: 2:212, 3:15, 3:120, 3:133, 3:172, 3:179, 3:198, 4:77, 5:65, 5:100, 6:32, 8:29, 9:4, 9:7, 9:36, 9:109, 9:123, 10:62, 10:63, 12:57, 12:109,
15:45, 16:30, 19:63, 19:85, 24:52, 25:15, 27:53, 39:20, 39:73, 64:16, 65:2, 68:34, 77:41, 78:31
Kedudukan
Wiqaayah dalam Konsep Pendidikan Islam
Terkait dengan Ayat 6 Surat
at-Tahrim Abuddin Nata mengutip penjelasan al Maroghi bahwa didalam ayat
tersebut terdapat kata quu anfusakum yang berarti buatlah sesuatu yang menjadi
penghalang datangnya siksaan api neraka dengan cara menjauhkan dari perbuatan
maksiat4).
Diriwayatkan
bahwa ketika ayat ini turun, Umar berkata: "Wahai Rasulullah, kami sudah
menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?" Rasulullah SAW. menjawab:
"Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan
perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu
melakukannya. Begitulah caranya meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu
dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan
belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepadanya.
Keterangan ayat di atas menunjukkan bahwa Islam menyerukan
kepada orang tua untuk memikul tanggung jawab terhadap anak-anak mereka. Islam
telah membebani para bapak dan ibu suatu tanggung jawab yang sangat besar di
dalam mendidik anak-anak dan mempersiapkan mereka dengan persiapan yang
sempurna untuk menanggung beban hidup mereka. Hal ini merupakan motivasi untuk pera
orangtua untuk melakukan kegiatan berkaitan dengan tarbiyah
terhadap anak-anak, isteri kerabat dan orang-orang yang menjadi tanggungan
mereka. Berkaitan dengan itu, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa
bagaimanapun bapak itu menjaga anak dari api neraka lebih utama dari pada
menjaganya dari api dunia. Untuk itu menurut Imam Al-Ghazali sang orang tua (keluarga) harus memberikan
pendidikan akhlak kepada anak-anaknya agar terhindar dari apa yang diterangkan
Al-Qur’an tersebut. (Al-Ghazali, 1964: 193).
Pendapat Imam Al-Ghazali tentang keharusan keluarga
memberikan pendidikan akhlak tersebut sejalan dengan keterangan yang bersumber
dari Rasulullah SAW dalam sabdanya:
عَلِّمُوْا
أَوْلاَدَكُم وَأَهْلِيْكُمُ الْخَيْرَ وَأَدِّبُوْهُمْ
Artinya:
“Ajarkanlah kebaikan (etika dan moral) kepada anak-anak kamu (laki-laki dan
perempuan) dan keluargamu (isteri atau suami) dan didiklah mereka (pendidikan,
olah pikir).” (Hadis Riwayat
Abdur Razzaq dan Sa'id Ibn Mansur)
Lihat juga Fuaduddin TM, Pengasuhan
Anak, hlm. 20-21).
Berkaitan dengan pendidikan akhlak (ta’dib) dalam
keluarga, Imam Al-Ghazali,
menilai bahwa anak adalah amanah Allah yang kepada mereka orangtua harus
melakukan tarbiyah, yakni menjaga dan mendidik untuk mencapai
keutamaan dalam hidup dan mendekatkan diri kepada Allah. Semua bayi yang dilahirkan di dunia
ini bagaikan sebuah mutiara yang belum diukur dan belum berbentuk amanat bernilai
tinggi. Maka kedua orang tuanyalah yang akan mengukir dan membentuknya menjadi
mutiara yang berkualitas tinggi dan berakhlak mulia. Maka ketergantungan anak
kepada pendidiknya termasuk kepada orang tuanya akan tampak sekali. Kedekatan
ayah ibu (orang tua) dengan anak, jelas memberikan pengaruh yang paling besar
dalam proses pembentukan akhlak (ta’dib), dibanding pengaruh yang diberikan
oleh komponen pendidikan lainnya. Karena ikatan ibu bapak dengan putera
puterinya adalah lebih kuat daripada ikatan persaudaraan dan ikatan lainnya.
(Al-Ghazali, 1964: 128).
Lebih spesifik, di dalam Ihyā’ Ulūmuddīn pada bahasan tentang ta’lim
(melatih) budi pekerti yang baik pada anak Imam Al-Ghazali mengatakan: “Ketahuilah, bahwa cara melatih anak
itu sangat penting dan amat perlu. Anak adalah mutiara yang sangat
berharga bagi kedua orang tuanya. Hati yang suci adalah mutiara yang sangat
berharga, halus, dan bersih dari ukiran dan gambaran. Ia menerima semua yang
diukir padanya. Dan terpengaruh kepada semua yang dipengaruhkan padanya.”
(Al-Ghazali, 1964: 198).
Imam Al-Ghazali sangat
menganjurkan agar dalam pembinaan akhlak anak dilakukan dengan cara
latihan-latihan dan pembiasaan-pembiasaan yang sesuai dengan perkembangan
jiwa dan akalnya. Oleh
karena pembiasaan dan latihan akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang
lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat. Akhirnya tidak tergoyahkan
karena telah masuk menjadi bagian dari kepribadian. Sehingga Imam Al-Ghazali
menyatakan: “Jika anak itu
sejak tumbuhnya sudah dibiasakan dan diajari yang baik-baik, maka nantinya
ketika ia mencapai usia baligh tentulah ia akan dapat mengetahui rahasianya
yakni mengapa perbuatan yang tidak baik itu dilarang oleh ayah (orang tua).”
(Al-Ghazali, 1964: 193).
Dalam
rangka mencapai hasil pendidikan yang maksimal, al-Qur’an menawarkan konsep
pendidikan seperti dalam Q.S. Luqman/31:12-19 :
12.
Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang
tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. Dan Kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah
mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.
15. Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): "Hai
anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada
dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat
dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.
19. Dan sederhanalah kamu dalam
berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai.
Menurut
Abuddin, dalam ayat tersebut terdapat komponen pendidikan diantaranya: Pertama, komponen pendidik yang dalam hal ini adalah kedua orangtua (Luqman)
sebagai kepala keluarga. Kedua, komponen anak didik dalam hal ini adalah putera
Luqman sendiri. Ketiga, komponen lingkungan dimana pendidikan tersebut
berlangsung dalam hal ini adalah lingkungan keluarga. Keempat, komponen materi (kurikulum) pendidikan yang mencakup aqidah,
menjauhkan syirik; akhlak mulia dengan memuliakan orangtua, mendirikan sholat,
beramar ma’ruf nahi munkar, bersikap tabah, menjauhkan sombong, bersikap rendah
hati dsb. Kelima, komponen hubungan, pendekatan dalam proses
belajar mengajar, yang dalam hal ini mengembangkan pola hubungan yang
demokratis, menghargai pendapat orang lain, manusiawi, berorientasi pada
kebenaran ilmiyah dan profesional. Keenam, komponen metode yang
dalam hal ini menggunakan metode ceramah (mau’idzah) dan perintah.
WIQAAYAH SEBAGAI MOTIASI
Kandungan
Surat at-Tahrim ayat 6 yang memerintahkan dengan tegas agar setiap mukmin
berupaya memelihara diri dan keluarga dari api neraka, memotiasi para mukmin
untuk saling mencari dan memberi pengetahuan terutama perihal bagaimana
melaksanakan pendidikan. Mengetahui materi dan metode pendidikan merupakan
sebuah kebutuhan.
Seperti
halnya para sahabat nabi yang terobsesi dengan syahid, semestinya para orangtua
menempatkan pendidikan setara dengan kebutuhan para sahabat terhadap ‘syahid’,
sebab keduanya sebanding
:
Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(Q.S at-Taubah/9:122)
Oleh karenanya,
penguasaan pengetahuan tidak hanya akan menghindarkan dan mejaga diri dan
keluarga dari siksa api neraka, melainkan juga akan terangkat derajat
kemanusiaannya:
Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S al-Mujadalah/58:11)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abdullah, M. Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant:
Filsafat Etika Islam, alih bahasa Hamzah, Bandung: Mizan,
2002.
2.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyā' Ulūmuddīn,
Jilid III dan IV, alih bahasa Ismail
Ya'kub, Surabaya: Faisan, 1964.
3.
Fuaduddin TM, Pengasuhan Anak dalam Keluarga
Islam, cet. I Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999.
4.
Nata, Abuddin, Tafsir
Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawy), Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, Cet.5, 2012.
5.
Ulwan, Abdullah Nasih, Pendidikan Anak dalam
Islam,
alih bahasa Jamaluddin Miri, Cet. ke-3, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
6.
Zainuddin dkk., Seluk-Beluk
Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.